SEMAR |
Dari bentuknya saja tokoh ini memang sulit untuk ditebak atau tidak mudah untuk diterka. Wajahnya adalah wajah laki-laki. Namun badannya serba bulat, payudara montok seperti layaknya seorang wanita. Rambut putih dan kerut wajahnya menunjukkan bahwa ia telah berusia lanjut, namun rambutnya yang dipotong kuncung seperti anak-anak. Bibirnya berkulum senyum, namun matanya selalu mengeluarkan air mata. Ia menggunakan kain sarung bermotif kawung, memakai sabuk tampar, seperti layaknya pakaian yang digunakan oleh kebanyakan abdi. Namun bukankah ia adalah titisan dari Bhatara Ismaya seorang Dewa anak dari Shang Hyang Wasisa Pencipta Alam Semesta seperti yang telah kita lihat dalam urutan asal usul manusia sejak dari Shang Hyang Tunggal?
Dengan bentuk dan gambaran yang demikian, dimaksudkan bahwa Semar selain sebagai sosok yang syarat misteri, Ia juga sebagai simbol kesempurnaan hidup. Di dalam Semar terdapat karakter wanita , karakter laki-laki, karakter anak-anak dan karakter orang dewasa atau orang tua. Ekspresi gembira dan ekspresi sedih bercampur menjadi satu. Kesempurnaan tokoh Semar menjadi lengkap ditambah dengan jimat Mustika Manik Astagina, pemberian Shang Hyang Wasisa atau Shang Hyang Tunggal , yang disimpan dikuncungnya. Jimat tersebut mempunyai delapan daya yaitu: terhindar dari lapar, ngantuk, asmara, sedih, capek, sakit panas, dan dingin. Delapan kasiat dari jimat Mustika Manik Astagina tersebut dimaksudkan untuk menggambarkan bahwa, walaupun Semar hidup didalam alam kodrad, Ia berada diatas kodrad itu sendiri. Ia adalah simbul misteri kehidupan, sekaligus juga dari kehidupan itu sendiri.
Jika kita memahami hidup adalah merupakan anugerah dari Shang Maha Hidup, maka Semar merupakan anugerah Shang Maha Hidup yang hidup dalam kehidupan nyata. Tokoh yang diikuti Semar adalah gambaran yang riil, bahwa sang tokoh tersebut senantiasa menjaga, mencintai, dan menghidupi hidup itu sendiri, yaitu hidup yang berasal dari Sang Maha Hidup. Jika hidup itu dijaga, dipelihara, dicintai maka hidup itu akan berkembang mencapai puncak dan menyatu kepada Sang Sumber Hidup, manunggaling kawulo kalawan Gusti
Pada upaya bersatunya kawulo lan Gusti inilah, Semar dan perananannya menjadi penting. Karena di dalam makna yang disimbolkan dan yang terkandung dalam tokoh Semar, orang akan mampu mengembangkan hidupnya hingga mencapai titik kesempurnaan, dan menyatu dengan Tuhan atau Shang Hyang Tunggal.
Selain sebagai simbol sebuah proses kehidupan yang akhirnya dapat membawa kehidupan seseorang kembali dan bersatu kepada Sang Sumber Hidup, Semar menjadi tanda sebuah rahmat Ilahi (Wahyu) kepada titahnya. Ini disimbolkan dengan kepanjangan dari nama Semar, yaitu Badranaya. Badra artinya Rembulan atau suatu keberuntungan yang baik. Sedangkan Naya artinya: adalah perilaku kebijaksanaan. Badranaya artinya : di dalam perilaku kebijaksanaan yang baik, tersimpan sebuah keberuntungan yang baik. Bagai orang kejatuhan rembulan atau mendapat wahyu.
Namun ada pula yang mengartikan Badra sebagai Bebadra yaitu membangun sebuah sarana dari dasarnya, serta Naya dari Nayaka yaitu utusan dalam hal Tata Susila. Jika digabungkan mempunyai makna “Mengemban sifat membangun dan melaksanakan perintah Tuhan demi kesejahteraan manusia.”
Dalam lakon wayang, yang bercerita tentang Wahyu, tokoh Semar Badranaya menjadi rebutan para Raja dan Ksatria. Karena dapat dipastikan dengan memiliki Semar Badranaya, maka Wahyu akan berada dipihaknya.
Dalam hal ini sangatlah menarik, karena ada dua sudut pandang yang berbeda. Ketika para Raja, Ksatria, dan para pendeta memperebutkan Semar Badranaya dalam usahanya mendapatkan Wahyu. Sudut pandang pertama, mendudukkan Semar Badranaya sebagai saran fisik untuk sebuah target. Mereka menyakini bahwa dengan memboyong Semar Badranaya, Wahyu akan mengikutnya sehingga dengan sendirinya Sang Wahyu akan didapat. Sudut pandang ini kebanyakan dilakukan oleh kelompok Kurawa atau tokoh-tokoh dari sebrang, atau juga tokoh-tokoh lain yang menginginkan jalan pintas, mencari enaknya sendiri. Yang penting mendapat Wahyu, tanpa harus menjalani lelaku yang rumit dan berat.
Sudut pandang yang kedua adalah mereka yang mendudukkan Semar Badranaya sebagai sarana batin untuk sebuah proses. Konskwensinya mereka mau membuka hati agar Semar Badranaya masuk dan tinggal menyertai dalam kehidupanya. Sehingga dapat berproses bersama meraih Wahyu. Pandangan ini adalah kelompok dari keturunan Sapta Arga. Dari kedua sudut pandang inilah dibangun konflik, dalam usahanya memperebutkan Wahyu. Dan tentu saja berakhir dengan kemenangan kelompok Sapta Arga. Tetapi kita yang notabenya adalah penganut aliran dari Sapta Arga justru merasa kurang yakin dan ragu. Kalaupun kita telah menyakini benar-benar tentang itu, mengapa prinsip dan laku kita jauh dari kelompok Sapta Arga? Kita masih selalu dan selalu mencari enak dan kepenak. Sejauh mana anda mencari hal itu, tentu tak akan anda dapatkan karena itu adalah kepuasan. Dan rasa puas tidak akan pernah berhenti, selama kita memahami segala sesuatu yang masih berbentuk fisik.
Mengapa Wahyu selalu jatuh kepada keturunan Sapta Arga? Karena keturunan Sapta Arga selalu mengajarkan perilaku kebijaksanaan. Di kalangan keturunan Sapta Arga, ada sebuah warisan tradisi spiritual yang kuat dan konsisten dalam hidupnya. Tradisi itu antara lain : sikap rendah hati, suka menolong sesama., tidak serakah, melakukan tapa, mengurangi makan dan tidur, serta lelaku batin yang lainnya. Karena tradisi-tradisi itulah keturunan Sapta Arga menjadi kuat, kemudian diasuh oleh Semar Badranaya. Yang menjadi pertanyaan saya sekarang adalah : mungkinkah kita bisa mewarisi tradisi itu ditengah-tengah kehidupan yang pragmatis?
Masuknya Semar Badranaya dalam setiap kehidupan, menggambarkan masuknya Sang Penyelenggara (Shang Hyang Maha Gesang) di dalam hidup itu sendiri. Maka sudah sepantasnya anugerah yang berwujud Wahyu itu akan bersemayam di dalamnya. Karena apa yang tersembunyi dibalik tokoh Semar adalah wahyu. Wahyu yang disembunyikan bagi orang-orang yang tamak dan dibuka bagi orang-orang yang hatinya merunduk dan melakukan perilaku kebijaksanaan. Seperti yang telah dilakukan oleh keturunan Sapta Arga.
Di dalam buku lain, tepatnya Filosofi Jawa saya menemukan catatan yang mengungkap Badranaya. Bebadra: “membangun sarana Dari dasar.”, Nayoko : “Utusan mangrasul, atau caroko”. Di situ disebutkan artinya: Mengembani sifat membangun dan melaksanakan perintah Tuhan demi kesejahteraan manusia semesta alam.
Ciri-ciri sosok Semar
Adapun ciri-ciri Semar menurut fisiknya, berkuncung seperti anak-anak namun berwajah tua, Semar tertawanya selalu diakhiri nada tangisan. Matanya menangis namun mulutnya tertawa. Semar selalu digambarkan berdiri namun seperti jongkok. Semar tidak pernah memberi perintah, namun selalu memberikan konskuensi atas nasehatnya.
Dalam kebudayaan Jawa, Semar adalah kepala Punakawan yang setia mengasuh keluarga Pandawa. Sosok yang selalu dimintai nasihat dan memang nasihatnya adalah cerminan dari kebenaran, keadilan dan kebijaksanaan. Dikenal sebagai pribadi yang sangat sederhana, penuh misteri namun dipuja. Mengapa? Karena Ia merupakan pengasuh yang sepi ing pamrih rame ing gawe, artinya dalam menolong orang lain, baik itu berupa pertolongan fisik ataupun sekedar nasihat, ia tidak pernah meminta imbalan atas jasanya. Namun, jika ia melihat ada yang kesusahan, tidak diminta pun ia akan memberikan pertolongan dan memberikan apapun yang ia punya. Karena sebenarnya ia adalah seorang Dewa yang dihormati oleh semua Dewa, menitis ke bhumi untuk memayu hayuning bawono, memelihara kedamaian di bhumi.
Sosok Punokawan
Dalam perkembangan selanjutnya, hadirnya Semar sebagai pamomong keturunan Sapta Arga tidak sendirian. Ia ditemani oleh ketiga anaknya, yaitu : Gareng, Petruk, Bagong. Keempat abdi tersebut dinamakan Punakawan. Dapat disaksikan hampir pada setiap pagelaran wayang kulit purwa, akan muncul seorang Satria keturunan Sapta Arga diikuti oleh Semar., Gareng, Petruk, dan Bagong. Cerita apapun yang dipagelarkan, keempat tokoh tersebut menduduki posisi penting. Kisah mereka selalu diawali dari pertapaan Sapta Arga atau pertapaan lainya. Setelah mendapat berbagai macam ilmu dan nasehat-nasehat dari Sang Begawan, mereka turun gunung untuk mengamalkan ilmu yang telah diperoleh, dengan melakukan topo ngrame (tidak memperlihatkan kelebihannya, hanya semata-mata dipergunakan untuk menolong tanpa mengharap imbalan).
Dikisahkan perjalanan Sang Satria dan keempat abdinya memasuki hutan. Ini menggambarkan bahwa sang ksatria mulai memasuki medan kehidupan yang belum pernah dikenal, gelap, penuh semak belukar, banyak binatang buas dan makhluk jahat yang siap menghadangnya, bahkan jika lengah dapat mengancam jiwanya. Namun pada akhirnya Sang Satria, Semar, Gareng, Petruk dan Bagong dapat memetik kemenangan dengan mengalahkan para raksasa, sehingga dapat keluar dari hutan dengan selamat. Berkat Semar dan anak-anaknya Sang Satria dapat menyingkirkan segala penghalang dan berhasil menyelesaikan tugas hidupnya, dengan selamat.
Semar dan putera-puteranya merupakan refleksi atau penjabaran akan sifat-sifat Ilahi yang ikut berproses dalam kehidupan manusia. Agar lebih jelas peranan Semar, maka dilengkapi dengan tiga tokoh lainnya. Ke empat tokoh tersebut merupakan lambang dari Cipta, Rasa, Karsa dan Karya manusia.
Semar mempunyai ciri menonjol pada kuncung putih di kepalanya, sebagai simbol dari pikiran yang bersih, gagasan yang jernih atau cipta. Gareng mempunyai ciri menonjol yaitu bermata kero yang berarti rasa kewaspadaan, tangan cekot melambangkan ketelitian dan kaki pincang yang melambangkan kehati-hatian. Petruk adalah lambang dari kehendak, keinginan atau karsa yang digambarkan dengan kedua tangannya. Jika digerakkan tangan depan menunjuk memilih apa yang akan dikehendaki, tangan belakang menggenggam apa yang telah dipilihnya. Sedangkan karya disimbolkan bagong dengan kedua tangan yang kelima jarinya terbuka lebar. Artinya selalu bersedia bekerja keras. Cipta, Rasa, Karsa dan Karya merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Cipta, Rasa, Karsa dan Karya manusia berada dalam diri pribadi manusia atau jati diri manusia, disimbolkan oleh tokoh Satria.
Gambaran manusia ideal adalah gambaran pribadi manusia yang utuh, manusia paripurna, dimana Cipta, Rasa, Karsa dan Karya dapat menempati posisinya masing-masing dengan harmonis. Untuk kemudian berjalan seiring menuju cita-cita yang luhur. Dengan demikian Satria dan Punakawan mempuyai hubungan yang signifikan. Tokoh Satria akan berhasil dalam hidupnya dan mencapai cita-cita ideal jika didasari sebuah pikiran jernih (cipta), hati tulus dan waspada (rasa), tekad bulat (karsa) dan mau bekerja keras (karya).
Kesamaran dalam sosok Semar merupakan simbol dari apa yang di kehendaki oleh Gusti Kang Murbeng Dumadi / Allah Al Khaliq / Sang Hyang Widhi / Tuhan Yang Maha Pencipta, atas seluruh makhluk yang diciptakanNya. Dan dengan mengenal sosok Semar yang sangat mudah dicerna oleh kita yang tinggal di Nusantara, diharapkan kita dapat mempelajari, memahami, menghayati dan mengamalkan apa yang tersirat di dalamnya. Kenapa kita semua ada di dunia ini, apa yang seharusnya kita lakukan, dan nanti mau ke mana setelah meninggalkan dunia ini.
Ingat, janganlah sekali-kali menganggap agama kalian masing-masing sebagai yang paling benar dan terbaik, karena hal itu akan membutakan hati. Agama ada, hanya sebagai penata kehidupan individu per individu. Jika Anda memaksakan orang lain harus sama dengan agama Anda, atau tingkat pemahaman orang lain harus sama dengan yang Anda pahami, maka Anda belum memahami apa arti Tuhan itu Maha Mengetahui.
Sadarlah saudaraku sebangsa dan se Tanah Air, mari kita tinggalkan kebutaan kita, ke-egoisan kita. Karena hanya dengan keadaan hati bersih seperti bayi dan mengetahui jati diri, kita bisa saling menghormati. Yang pada akhirnya kita benar-benar bisa mempunyai bangsa yang besar, yang menjadi Mercusuar Dunia.
bagus sekali & mencerahkan. terima kasih
BalasHapus