Musim kemarau yang panas sekali mengharuskan hampir semua kehidupan di daerah ini terhenti sejenak. Sesekali terdengar kicauan burung dipuncak pohon bersahut – sahutan sesama marganya.
Kadang angin bertiup sepoi – sepoi menambah gambaran indah alam mayapada untuk dinikmati oleh semua makhluk berbagai jenis. Ditengah lebatnya hutan yang masih perawan dan hampir tidak ada manusia.berdiri seorang asing yang misterius. Dilihat dari cara berbusana dan mata yang tajam seperti mata burung elang, postur tubuh yang kekar dapat diperkirakan dia bukan orang asli daeah ini dan yang jelas di abukan orang sembarangan. Memandang ketajaman mata serta kumis tebal yang melintang diatas bibir yang mahal senyum menambah kewibawaannya.
Entah kapan orang ini berada di dalam hutan sendirian yang ditumbuhi pohon – pohon jati raksasa yang daunnya mampu menahan terobosan sinar matahari mencapai permukaan tanah.
Walau musim kemarau, orang tidak akan sulit menemukan menemukan air, sebab ekologi alamnya masih utuh dan berdiskusi sesuai kehendak alam yang belum ada campur tangan manusia. Disana sini masih terdengar air mengalir gemericik diparit – parit menuju suatu hamparan berbentuk seperti kolam, luar biasa.
Dengan tersedianya air diberbagai tempat, udara musim kering yang panas berubah menjadi sejuk dan segar, semua makhluk bersuka ria. Seandainya manusia jaman sekarang menydari betapa berjasanya alam yang diciptakan oleh Tuhan ini terhadap kepentingan manusia dan semua makhluk yang ada, pasti tidak demikian parah menderita menghadapi keganasan alam yang telah diusik secara semena – mena oleh manusia. Hukum sebab akibat yang berlaku di alam nyata ini bukan untuk dirusak , dijarah atau di manfaatkan secara liar dan tidak menurut aturan hidup, maka alam akan membalas tingkah laku kita lebih kejam tanpa pandang bulu, tapi dilestarikan.
Kalau seandainya tokoh ini memiliki jiwa aji – aji mumpung, maka anak cucu yang kini mendiami wilayah Randublatung ini, tokoh ini tidak bakalan mendapat sebutan tokoh yang disegani.
Dia orang yang sakti mandraguna, tidak butuh cara hidup kebendaan, keduniawian seperti manusia jaman sekarang, tapi mengutamakan ketentraman hati, mendekatkan diri pada sang pencipta alam dengan cita – cita membaktikan diri pada sesama dimana perlu ada niat yang bulat mengakhiri langkah yang lalu dan berdiam di suatu tempat serta meninggalkan kebiasaan mengembara terus menerus. Dengan perasaan mantap dan dilandasi niat dan tekad membaja, semalam suntuk dia habiskan waktunya untuk merenungi nasibnya, sambil merencanakan langkah luhur yang menyangkut masa depan dan harkat orang banyak dimasa mendatang.
Lelaki itu bertekad menjadikan daerah baru yang kini dia tempati sebagai daerah perkampungan yang pantas di huni oleh sebuah masyarakat manusia dengan segala norma-normanya. Di dalam hati dia bertanya-tanya, apakah benar daerah selua ini belum ada sosok lain yang dapat di jadikan teman snasib sependeritaan yang dapat di ajak bertukar pikiran.
Berhari-hari ia mulai membersihkan hutan di sekitarnya, sambil membuat tempat berteduh serta bercocok tanam seadanya. Niat menemukan manusia lain makin hari makin di rasakan sebagai kebutuhan yang mendesak, karena dia berpendapat bahwa usahanya akan sia-sia saja bila di kerjakan sendirian.
Pekerjaan ini bukanlah hal yang ringan,tetapi banyak membutuhkan tenaga dan sumbangan pikiran dari manusia lain akan membutuhkan waktu yang cukup lama,agar layak di huni.
Pada suatu hari dikala matahari baru terbit,timbullah sebuah gagasan yang sangat cemerlang dalam pikiranya untuk memberikan nama yang tepat bagi daerah ini. Masih tegak berdiri,di arahkan pandangan matanya ke segala penjuru, dan di bagian timur laut tampak sebuah pohon tinggi yang belum pernah di lihatnya sebelumnya, menjulang ke angkasa melebihi tingginya semua pohon di sekitarnya.
Di dekatinya pohon tersebut, ternyata bukan pohon jati, tetapi pohon randu raksasa yang dipenuhi dengan benjolan ( Randu Budhug ). Di tepuk-tepuknya pohon randu satu-satunya di dalam hutan jati itu, sambil berujar : “kelak apabila daerah ini menjadi ramai dan dihuni oleh manusia, maka mulai saat ini ku namakan Desa “RANDU”.
(Lokasinya sekarang di pekarangan bagian depan sebelah timur laut pendopo kawedanan Randublatung)
Sambil melangkahkan kakinya ketempat berteduh,dalam hatinya masih ada perasaan yang belum mantap terhadap apa yang baru saja dilakukan. Dia merasa nama tersebut kuranglah sempurna, kalau hanya nama Randu saja. Belum juga langkah mencapai tempat berteduh, dia berbalik dan mulai melangkahkan kakinya lurus kearah timur. Ditelusurinya kawasan hutan tersebut sambil tak henti-hentinya berpikir keras guna memecahkan misteri ketidak mantapan hatinya.
Tanpa terasa dia telah sampai ditepi sebuah sendang (semacam sumur goak), dimana udara sekitarnya terasa sejuk ditinkah oleh nyanyian burung – burung kecil yang terbang kemari dari satu dahan ke ranting yang lain
Air sendang yang jernih dan bersih, mengundang selera Onggososro untuk mencuci muka. Selesai mencuci muka, alam sekitarnya terasa terang benderang dan secara nalurilah matanya tertumbuk pada sebatang kayu keropos yang tergeletak di tanah, dengan banyak lubang –lubang bekas dikerat semacam ulat yang bernama engkuk, dan lasim disebut belatung.
Pada waktu bersamaan, ratusan belatung keluar dari liangnya dan secara serempak membuat lubang baru dibagian batang yang belum dikerat.
Dengan membentangkan kedua kakinya, tangan kiri berkacak pinggang, di acungkan tangan kanannya tinggi – tinggi sambil berujar membahana : “ Kini purna sudah ganjalan dalam hatiku dan sejak saat ini, di saat sang hyang Bagaskara memancarkan sinar yang terang benderang mulai saat ini pula daerah ini kuberi nama RANDUBLATUNG”.
(Lokasi sendang diseberang jalan depan Kantor Polsek Randublatung agak masuk ke dalam).
Sang waktu terus berjalan, hari demi hari, jadi bulan, berubah menjadi tahun yang berkepanjangan. Kini mulai ada satu dua orang tampak berdatangan, entah mereka itu pengembara, penjahat yang melarikan diri sebagai buron, atau orang yang mengejar buruaan binatang liar sampai jauh masuk hutan, tapi yang jelas kedatangan mereka menambah semaraknya daerah baru sehingga terasa hidup, dan kyai Onggososro tidak kesepian lagi. Semakin hari banyak pendatang baru yang kebanyakan mengadu untung mencari nafkah ditanah yang subur.
Diantara pendatang baru tadi ada sepasang suami istri keturunan tionghua (Cina), yang juga mencoba mencari keberuntungan.
Ternyata pasangan suami istri cina ini bukanlah orang sembarangan tapi orang berbudi luhur serta mempunyai kesaktian yang mumpuni. Pendatang baru tersebut bernama MBO LIANG, yang dengan mata batin mampu mengetahui orang terhormat dan disegani semua orang daerah ini sebagai sesepuh dan cikal bakalnya Randublatung.
Secara tepat MBO LIANG menebak keberadaan tokoh ONGGOSOSRO , sebagai tokoh yang cocok dijadikan sahabat sejati.
Perkenalan dan persahabatan kedua tokoh ini merupakan kunci penentu perkembangan daerah Randublatung.
Walau berlainan bangsa dan ras, keduanya merupakan sahabat yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Pertukaran dan pengalaman dari masing – masing tokoh ini berhasil memicu perkembangan sosial , ekonomi dan budaya. Keberadaan mereka seperti saudara sekandung, karena kedua – duanya memiliki sifat arif bijaksana, dan pantas menjadi tetua dan panutan setiap orang yang menghuni daerah baru ini. Namun nasib seseorang tidak bisa diterka, hanya Tuhan saja yang punya hak menentukan nasib setiap orang.
Pada suatu senja, kedua suami istri itu bermaksud pergi mandi di sebuah sendang, dan keduanya raib tanpa tentu rimbanya. Mendegar sahabatnya lenyap tak berbekas, tentu saja hati Onggososro merasa sedih, dan sebagai penghormatan bagi seorang sahabat yang selama ini menjadi curahan hati, maka dibuatlah semacam makam, punden, atau cungkup dibagian selatan Desa Randublatung.
Perlu diketahui bahwa masa itu, yang disebut Randublatung tidak sebatas desa Randublatung seperti sekarang ini, tapi meliputi sebuah wilayah luas yang pada saatnya kelak menjadi beberapa desa yang diproklamasikan oelh pada masa berikutnya.
Setelah berpuluh tahun, Tokoh Onggososro meninggal dunia, dikebumikan sebelah selatan desa Randublatung, yang terkenal sampai sekarag sebagai pemakaman Onggososro, letaknya dari cungkup Mbo Liang kearah timur. Sebuah makam umum yang cukup luas diperkirakan keberadaan tokoh ini sekitar pertengahan jaman majapahit, dan kemungkinan besar beliau masih kerabat Kerajaan Majapahit yang berpetualang sampai ke daerah Randublatung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Kami harap Saran dan Pesan dari Anda